Saturday, 8 March 2014

Aku...

Kini, aku berada di sini - didesak antara masalalu yang tak sepenuhnya dimengerti dan masa depan yang mencemaskan. Bertahan di antara ribuan kata-kata yang terucap, ribuan kepedihan yang memuncak - bahwa dalam kehidupan ini, dalam jiwaku, ada sesuatu yang masih hilang. Lantas apa yang harus dilakukan dengan semua waktu yang tersisa di depan sana? Jarak itu.. yang menjadi jembatan penghubung antara detik dan menit, jam dan hari, bulan dan tahun, usia dan maut – tak lebih dari jarak antara detak jantung dan penantian-penantian yang lain.

Matahari.. yang terbit dan terbenam mengingatkanku akan kehidupan ini, ketika pagi merekah maka terbitlah Ia, lalu kita menyambutnya dengan riang, pada tarikan nafas pertama seolah hidup (selalu) baru saja di mulai dan kita seolah terlahir kembali setiap paginya, kemudian kita akan disibukkan oleh siang, menyiapkan makanan, bekerja, mencari uang, mandi, bertemu kawan, dll, dll, dll.. berjalan-jalan sore, menghitung detak jam yang berlari, sedang kata-kata belum juga bisa kita akhiri, kemudian yang bisa kita lakukan adalah duduk di sebuah bangku sambil menatap matahari yang akan tenggelam, dengan rasa yang panjang (sambil tersenyum atau meneteskan air mata) sambil mengingat bagaimana anda menggenggam tangan saya - bersama mengeja waktu yang melaju menyeret langkah kita - setelah segalanya.. segala yang telah dan belum dilalui, dan apa yang ada di kedalaman malam? Di mana segalanya di mulai – mimpilah kebisuan kita..

Begitulah senja datang dengan membawa melankolinya tersendiri. Suatu saat, ketika waktu telah menuakan kita, kita akan duduk di sebuah tempat, suatu tempat yang akan mengingatkan dan mengembalikan kita pada bagian-bagian dari diri kita yang pernah kita tinggalkan di sana, kemudian sambil menatap matahari terbenam, merasakan kembali nafas itu.. kita hanya bisa duduk, sambil terus mengingat, dan menunggu, menyaksikannya tenggelam.. terbenam..

Maka di atas segalanya - keyakinan dan mimpi yang panjang, dari langkah yang telah membawa ku sampai di sini, untuk terus melangkah – menari, megembara ke sebuah tempat, sebuah tempat di mana kesadaranku (akan) dapat hidup dan tumbuh di sana, menuju diri. Demi segala yang tak pernah lebih jauh dari detak jantungku, kulepas segala yang menyertai, hingga (kelak) aku mampu berdamai, agar segala tanda sampai, agar segala makna terpahami.. di sanalah aku (barangkali-kelak) telah berhasil menjadi sesuatu, dan itu berkat anda, berkat belajar dari satu sama lain, dan saling melengkapi, dan tumbuh berkat cinta.

 





-Arie Satria Pratama..
Comments
0 Comments

0 comments:

Post a Comment

Kata hari ini