Legenda si anak durhaka "Malin Kundang" belumlah seberapa
dibandingkan dengan kisah-kisah moderen yang berpangkal pada "Berhala
Harta Benda". Sudah kerapkali terjadi peristiwa si anak durhaka yang
"merumah jompokan" bahkan "membantai" orang tuanya hanya gara-gara harta
benda. Mulai dari masalah tidak terpenuhinya keinginan si anak untuk
membeli kendaraan bermotor, hutang piutang, hingga pembagian warisan.
Kalaulah sudah demikian halnya, apalah artinya hidup di dunia ini. Hidup
jauh dari "ketenangan" dan tentunya mati dalam "kesesatan". Padahal
yang menjadi dambaan setiap insan adalah hidup berbahagia dunia dan
akhirat, yakni hidup mati dalam keridhaan Allah SWT.
Alangkah mendambanya kita terhadap sapaan Allah di akhir hayat kita: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu." (Qs. 89: 27-30). Dalam firman ini perlu diperhatikan bahwa masuk ke surga (khulii jannatii) mempersyaratkan kita tergolong hambaNya (khulii fii 'ibaadii). Untuk menjadi hambaNya adalah berusaha semaksimal mungkin mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya, sehingga hidup dalam keridhaanNya. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam firman Allah: "Orang-orang terdahulu yang pertama-tama (masuk Islam) dari Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepadaNya." (Qs. 9: 100). Insyaallah dengan hidup yang diridhai Allah SWT, maka mati pun kita dalam keridhaanNya (khusnul khotimah).
Jiwa kita menjadi tenang (napsul muthma'inah) karena merasa senantiasa dalam bimbingan nur dan maghfirah Allah. "Hai orang-orang yang beriman, taqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasulNya (Muhammad), niscaya Allah memberikan dua bahagian dari rahmatNya kepadamu dan Dia menjadikan untukmu nur (cahaya) yang kamu berjalan dengannya dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. 57: 28).
Tapi syarat utama (prerequisite) dan sekaligus syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk memperoleh keridhaan Allah adalah memperoleh keridhaan orangtua (kandung) kita. Karena itulah dalam firman-firmanNya, keridhaan Allah selalu "disandingkan" dengan keridhaan orangtua. "Dan Tuhanmu menetapkan janganlah menyembah melainkan kepadaNya, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak. Jika sampai salah seorang mereka itu atau keduanya telah tua dalam pemeliharaanmu (berusia lanjut), maka janganlah engkau katakan kepada keduanya 'ah', dan janganlah engkau bentak keduanya, dan berkatalah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah, 'Hai Tuhanku, kasihanilah keduanya, sebagaimana mereka telah memeliharaku waktu kecil." (Qs. 17: 23-4). Berbuat baik kepada orangtua ini bahkan hukumnya wajib: "Dan Kami wajibkan kepada manusia berbuat kebaikan kepada ibu bapaknya." (Qs. 29: 8). Sebagai anak harus patuh kepada orangtua, kecuali jika mereka menyuruh menyekutukan Allah maka boleh tidak dipatuhi. Namun anak harus tetap berbuat (bergaul dengan) baik dengan orangtuanya itu. "Dan apabila keduanya memaksamu supaya menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada bagimu ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi mereka dan pergaulilah mereka dengan baik di dunia, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu." (Qs. 31: 15).
Jika berkata "ah" dan membentak saja tidak diperkenankan, maka bagaimanakah halnya kisah-kisah si anak durhaka sejak era "Malin Kundang" hingga era "Berhala Harta Benda" seperti telah dikemukakan. Dari Abdullah bin Amr beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua." (HR. Al-Baihaqy). Alangkah nistanya hidup dan mati dalam kemurkaan Allah. Untuk menghindari kemurkaan Allah itu tentunya dengan memohon ampun (taubatan nashuha) kepadaNya. Jika berkaitan dengan orangtua, maka niscaya ampunan Allah itu baru diberikan (dikehendaki), jika dimaafkan (diampuni) orangtua. Sekiranya orangtua masih hidup, masihlah ada harapan. Tapi jika sudah meninggal, apalagi mati dibunuh anaknya sendiri, bagaimanakah hendak meminta maaf (ampun) kepadanya. Allah berfirman: "Dan milik Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia mengazab siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. 3: 129).
Agus Muharso Thaufik
Alangkah mendambanya kita terhadap sapaan Allah di akhir hayat kita: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan ridha dan diridhai. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hambaKu, dan masuklah ke dalam surgaKu." (Qs. 89: 27-30). Dalam firman ini perlu diperhatikan bahwa masuk ke surga (khulii jannatii) mempersyaratkan kita tergolong hambaNya (khulii fii 'ibaadii). Untuk menjadi hambaNya adalah berusaha semaksimal mungkin mentaati perintahNya dan menjauhi laranganNya, sehingga hidup dalam keridhaanNya. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam firman Allah: "Orang-orang terdahulu yang pertama-tama (masuk Islam) dari Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepadaNya." (Qs. 9: 100). Insyaallah dengan hidup yang diridhai Allah SWT, maka mati pun kita dalam keridhaanNya (khusnul khotimah).
Jiwa kita menjadi tenang (napsul muthma'inah) karena merasa senantiasa dalam bimbingan nur dan maghfirah Allah. "Hai orang-orang yang beriman, taqwalah kepada Allah dan berimanlah kepada rasulNya (Muhammad), niscaya Allah memberikan dua bahagian dari rahmatNya kepadamu dan Dia menjadikan untukmu nur (cahaya) yang kamu berjalan dengannya dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (Qs. 57: 28).
Tapi syarat utama (prerequisite) dan sekaligus syarat mutlak (conditio sine qua non) untuk memperoleh keridhaan Allah adalah memperoleh keridhaan orangtua (kandung) kita. Karena itulah dalam firman-firmanNya, keridhaan Allah selalu "disandingkan" dengan keridhaan orangtua. "Dan Tuhanmu menetapkan janganlah menyembah melainkan kepadaNya, dan berbuat baiklah kepada ibu bapak. Jika sampai salah seorang mereka itu atau keduanya telah tua dalam pemeliharaanmu (berusia lanjut), maka janganlah engkau katakan kepada keduanya 'ah', dan janganlah engkau bentak keduanya, dan berkatalah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang, dan ucapkanlah, 'Hai Tuhanku, kasihanilah keduanya, sebagaimana mereka telah memeliharaku waktu kecil." (Qs. 17: 23-4). Berbuat baik kepada orangtua ini bahkan hukumnya wajib: "Dan Kami wajibkan kepada manusia berbuat kebaikan kepada ibu bapaknya." (Qs. 29: 8). Sebagai anak harus patuh kepada orangtua, kecuali jika mereka menyuruh menyekutukan Allah maka boleh tidak dipatuhi. Namun anak harus tetap berbuat (bergaul dengan) baik dengan orangtuanya itu. "Dan apabila keduanya memaksamu supaya menyekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada bagimu ilmu tentang itu, maka janganlah engkau patuhi mereka dan pergaulilah mereka dengan baik di dunia, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepadaKu." (Qs. 31: 15).
Jika berkata "ah" dan membentak saja tidak diperkenankan, maka bagaimanakah halnya kisah-kisah si anak durhaka sejak era "Malin Kundang" hingga era "Berhala Harta Benda" seperti telah dikemukakan. Dari Abdullah bin Amr beliau berkata; Rasulullah SAW bersabda: "Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua." (HR. Al-Baihaqy). Alangkah nistanya hidup dan mati dalam kemurkaan Allah. Untuk menghindari kemurkaan Allah itu tentunya dengan memohon ampun (taubatan nashuha) kepadaNya. Jika berkaitan dengan orangtua, maka niscaya ampunan Allah itu baru diberikan (dikehendaki), jika dimaafkan (diampuni) orangtua. Sekiranya orangtua masih hidup, masihlah ada harapan. Tapi jika sudah meninggal, apalagi mati dibunuh anaknya sendiri, bagaimanakah hendak meminta maaf (ampun) kepadanya. Allah berfirman: "Dan milik Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Dia memberi ampun kepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia mengazab siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Qs. 3: 129).
Agus Muharso Thaufik